Friday, April 13, 2018

Sungguh Nikmatnya Tubuh Sepupu Istriku

Sungguh Nikmatnya Tubuh Sepupu Istriku
Baru pulang dari luar kota barusan malam Saya agak malas untuk bersiap ke kantor, kelak agak siang saja Saya masuknya. Istri saya telah pergi, anak satu-satunya saya telah ke sekolah. Usai sarapan yang disediakan oleh Yuni Saya belum mandi tapi nikmati 3 hari koran yang belum juga pernah saya baca sepanjang keluar kota di sofa ruangan tamu. Santai… Hari mendekati siang. 

Yuni barusan usai mengepel lantai lantas ke belakang. Rasa-rasanya ada yang aneh pada Yuni. Setiap hari dia memanglah mengepel lantai serta itu umum. Tak tahu apanya yang berlainan pada dia pagi hari ini Saya tidak memerhatikan serta memanglah tidak menginginkan tahu. Cuma saya rasakan agak aneh saja. Kembali Saya membaca koran. Saat terdengar nada guyuran air di kamar mandi belakang, juga masih tetap umum, Yuni usai bersih-bersih tempat tinggal lantas mandi. 

Lantas 1/2 jam lalu dia terlihat sliweran pada dapur serta ruangan makan juga umum. Juga saat masuk ke kamar anak saya. Sepintas Saya pernah memandangnya lewat dari balik bentangan koran saya. Mungkin saja ini yang tidak umum, dia terlihat lebih rapi dari umumnya. Daster yang dia gunakan nampaknya baru. Mungkin saja dia ingin keluar berbelanja, fikirku. 


Dalam aktivitas dia di ruangan makan terkadang dia buat bebrapa nada bentrokan piring serta alat yang lain. Dengan sendirinya Saya sedikit mengangkat kepala mengalihkan pandangan dari koran ke arahnya. Itu pergerakan refleks yang umum. Yang tidak umum yaitu dia sekian kali ‘tertangkap’ tengah melihat ke arah saya tapi tatapan matanya agak ke bawah. Saat dia tengah ke belakang Saya cobalah mempelajari adakah yang aneh pada diri saya? Rutinitas dirumah Saya senantiasa kenakan celana pendek. Itu seringkali serta Yuni juga sudah mengetahui. Jadi apanya yang aneh? Ah, memanglah Saya perduli! Saya selalu saja membaca. 

Hingga selang beberapa saat, saat asiknya Saya membaca tanpa ada saya sadari Yuni telah berdiri dimuka saya. Koran saya tempatkan, belum juga pernah Saya buka mulut untuk ajukan pertanyaan, mendadak Yuni menghambur ke arah saya, duduk di pangkuan saya serta memeluk badan saya. Lantas kepalanya yang tersembunyi di dada saya tampak sedikit berguncang. Yuni menangis. Ada angin apa nih? 

“Maafkan saya Kang…” tuturnya di sela-sela isakan tangisnya. 

Yuni memanglah bukan pembantu. Dia yaitu sepupu istri saya, keduanya sama dari Kuningan, asal istri saya. Dia cukup cerdas walaupun SMK saja tidak tamat, karna keburu diminta menikah oleh ibunya. Rekan-temannya di kampung biasanya cuma tamatan SMP atau bahkan juga SD. Dia sesungguhnya menginginkan sekolah hingga tingkat sarjana, cuma rutinitas di kampung mengharuskan anak wanita telah berrumah-tangga saat menjangkau usia 16 atau 17 th.. Malang baginya, saat umur pernikahan mendekati satu tahun suaminya tertangkap basah berselingkuh. Dia minta cerai serta menginginkan turut istri saya ke Jakarta sembari siapa tahu dapat melanjutkan sekolahnya serta meraih cita-citanya jadi sarjana pertanian. Di kampung dahulu dia memanglah sangat dekat dengan istri saya. 

Sesudah bicara dengan saya, istri saya sepakat menyekolahkan dia hingga tamat. Yuni bersedia kerja apa sajakah, jadi pembantu meskipun, untuk menguber cita-citanya. Kami, saya, istri serta anak saya tidak sempat berasumsi dia jadi pembantu. Kami perlakukan dia jadi satu diantara kerabat dekat. Telah nyaris dua bln. dia turut dengan keluarga kami. Dia telah tercatat di SMK kelas tiga, cuma belum juga mulai sekolah karna menanti th. ajaran baru, bln. depan. Umurnya saat ini 18 th.. Memanglah sedikit terlambat. Anak seusia dia biasanya telah tamat SMU. 

“Kenapa Yun? ” 

“Maafkan saya Kang…” 

“Kamu salah apa? ” 

Dia tidak menjawab, masih tetap terisak. Saya cobalah menduga-duga, mungkin saja dia tidak kerasan karna kerjakan masalah rumah tangga serupa pembantu. 

“Kamu ingin pulang? ” 

Yuni menggeleng. Sesungguhnya tidak sebagai pembantu karna istri saya bila tengah dirumah juga turut terjun kerja dengan dia. Anak saya juga demikian. Kami memanglah telah umum tidak miliki pembantu. 

“Atau anda tidak kerasan disini? ” 

“Bukan Kang bukan… Saya suka tinggal sama Teteh…” yang dia sebut teteh yaitu istri saya. 

“Jadi mengapa? ” 

Hening sesaat, lalu 

“Sayanya Kang, saya yang tidak beres…” 

“Tak beres apanya? Mari narasi, janganlah sungkan-sungkan. Anda kan telah saya anggap adikku sendiri” 

“Bukan problem itu Kang… Akang sekeluarga di sini baik-baik semua… saya kerasan…” 

“Lalu? ” 

Yuni masih tetap diam, tangisnya mereda. Tapi masih tetap belum juga ingin bicara. Tidak sadar Saya mengelus-elus rambutnya yang lurus serta panjang sepunggung, seperti rambut istri saya. Memanglah Yuni banyak kemiripan dengan istri saya. Muka serupa, cuma istri saya langsat dia sawo masak. Bentuk badannya sama langsing, cuma dada Yuni sedikit semakin besar. Janganlah berfikiran beberapa macam. Dari ‘tampak luar’ saja telah tampak, tidak mesti ‘memeriksa’ kedalam. 
Memangnya Saya sekurang ajar itu berani mengecek dada sepupu istri saya. Dada? Ah… gumpalan daging kembarnya itu menempel erat di dada saya saat ini. Baru saat ini juga Saya mengerti kalau bongkahan itu melekat di badan saya hampir tidak ada penghambat. Tidak ada ‘kain keras’ diantara kami. Masa sich? Untuk penuhi rasa penasaran saya, tangan saya yang tengah membelai rambut Yuni ‘mampir’ sebentar ke punggungnya. Cuma kain daster saja yang ada dipunggungnya. Benar, Yuni tidak kenakan bra! Saya semakin banyak berfikiran positif. Mungkin saja saja barusan dia setelah mandi belum juga pernah menggunakannya. Tapi mengerti ‘keadaan’ begini, jadi lelaki normal tidak urung ada yang menggeliat dibalik celana pendek saya. 

Lantas, saya biarlah fikiran saya mengelana, saya pikirkan bentuk bongkahan yang menghimpit dada saya, pastinya masih tetap kencang sebab dia belum juga miliki anak serta belum juga satu tahun ‘dipakai’, dengan putingnya yang kecil serta kecoklatan. Imagi begini terang saja buat piranti bawah saya makin mengencang. Mendadak Yuni mengangkat kepalanya yang dari barusan ngumpet di dada saya. Ditatapnya mata saya sesaat, lantas pandangan berpindah ke badan saya sisi bawah serta lalu memandang saya sekali lagi. Saya percaya pantatnya sudah rasakan perubahan yang berlangsung di celana saya. 

“Kang…” bisiknya serak. 

Pantatnya bergerak menggoyang, melumati kelamin saya. Mendadak mulut saya dipagutnya. Saya masih tetap shock atas perbuatannya ini hingga bibir saya pasif saja terima sapuan bibirnya. Tapi itu tidak lama, cuma sebagian waktu lalu bibir saya jadi merespon lumatan bibirnya. Kami berciuman. Celakanya, tak tahu bagaimana Saya jadi memikirkan kalau yang tengah saya ciumi ini yaitu istri saya hingga ciuman kami semakin seru. 

Saya pernah melayang hingga satu waktu kesadaran saya mendarat kembali pada bumi, rasio menaklukkan emosi. Saya dorong kepala Yuni menjauh, ciuman lepas. 

“Yun…? ” 

Saya saksikan ekspresi berwajah yang kaget dalam waktu relatif cepat. 

“Kang… maafkan aku… tapi saya perlu banget… perlu Kang… telah lama banget menahan…” 

“Kamu sadar Yun? ” 

“Iya Kang, sadar kalau saya begitu membutuhkanmu Kang…” 

“Kenapa saya? ” bertanya saya sekali lagi. 

“Gak tahu Kang. Badanku ini telah lama membara… Telah lama saya cobalah menahannya tapi saya tidak dapat Kang… tolong Akang mengerti…” 

Tanpa ada menanti reaksi saya Yuni kembali menciumi saya. Kami berpagutan sekali lagi. Saya mulai nikmati. Kesadaran saya berangsur menghilang. 

Lalu, ini pergerakan refleks yang lumrah serta umum saat sembari berciuman telapak tangan kanan saya mulai meremas-remas buah dada kirinya yang cuma tertutup daster. Daging yang sekal sesuai sama bayangan saya barusan. Yuni melepas ciuman lantas mengerang sembari kepalanya mendongak nikmati remasan saya. Bahkan juga erangannya serupa rintihan istri saya. Hanya sesaat, kembali dia mengagetkan saya, dengan sigapnya dia melepas kancing-kancing dasternya lantas menyodorkan dadanya ke muka saya. Dua bulatan kembar itu saat ini terhidang dimuka hidung saya. Putingnya kecil tapi sudah mengacung ke depan. Saya ciumi buah dadanya, bertukaran kanan serta kiri. Puting kecil itu memanglah keras. 

Juga pergerakan lumrah bila tangan saya lalu mulai membelai-belai pahanya, menyelinap ke balik dasternya, merambat hingga pangkalnya. Lagi-lagi Saya dibikin kaget. Cuma daster tersebut hanya satu baju yang menempel di badan sintal Yuni. Saya barusan tidak memerhatikannya. Selangkangan berbulu halus itu sudah membasah serta lembab. Yuni semakin menggila. 

“Ayo Kang. Sekarang… Saya mohon…” 

Rangsangan saya telah tinggi, tidak ada sekali lagi fikiran jernih, gelap mata. Saya bopong Yuni menuju kamar saya, saya rebahkan badannya ke kasur. Secepat kilat Yuni melepas dasternya lewat kepalanya. 

Badan coklat langsing sekal itu saat ini telanjang bulat tergolek di kasur saya. Ke-2 belah dadanya memanglah bulat serta menonjol dihiasi puting serta lingkaran aerola yang kecil menaikkan keindahannya. Bulu-bulu halus dibawah perutnya tampak rapi sinyal tertangani. Badan itu saat ini gelisah, bergerak-gerak tidak pasti. Pahanya telah buka lebar. Tunggulah apa sekali lagi? 

“Ayo Kang…” 

Secepat kilat Saya memelorotkan celana pendek saya sekalian dalemannya. Saya naik ke tempat tidur serta mengarahkan penis saya ke selangkangannya. Rutinitas saya bila awal penetrasi lebih sukai tempat misionaris, sebab Saya dapat lihat ekspresi muka lawan main saya saat penis saya mulai menusuk. Muka dengan mata terpejam serta kepala sedikit mendongak yaitu pemandangan paling eksotis. Saya rebahkan badan saya menindihnya. Lantas dengan pergerakan agak kasar Saya menghimpit. Muka Yuni berkerut, dia menggigit bibirnya sendiri, ekspresi seperti orang yang tengah kesakitan. Benar saja… 

“Aaaww… bebrapa perlahan Kang, saya telah lama banget engga …” 

Memanglah, kepala penis saya terasanya mengenai tembok meskipun Saya percaya dia sudah lembab. 

“Oh… maaf Yun…” 

Lantas dengan sabarnya Saya perlahan-lahan buat beberapa gerakan pendek maju-mundur untuk buka ‘pintu’ yang telah lama tidak sempat dimasuki. Memanglah agak sulit, mesti perlahan-lahan serta bertahap. Pada akhirnya semua batang saya tertelan oleh vaginanya. Awalilah Saya ‘memompa’, masih tetap perlahan-lahan supaya dapat lebih rasakan gesekan batang saya dengan dinding-dinding liang vaginanya. Punya Yuni demikian eratnya menjepit batang saya, sama seperti punya istri saya pada awal-awal kami menikah. Saya jadi teringat pada saat berbulan madu dengan istri saya satu tahun lebih kemarin. Cerocohan ribut yang keluar dari mulut Yuni juga sama. Beginilah rasa-rasanya. Cuma satu kata : nikmat! 

Lantas Yuni? Susah saya deskripsikan. Pergerakan badannya demikian liar, ekspresi berwajah demikian ekstasi manjadikan dia terlihat lebih cantik di banding umumnya. Itu sinyal untuk wanita yang tengah rasakan enaknya bersenggama. Rasa-rasanya Saya dapat lebih lama bertahan memompa, mungkin saja karna barusan malam Saya telah keluarkan 2 x ‘tabungan’ ke badan istri saya sesudah tersimpan sepanjang 3 hari diluar kota. 

Sampai sebagian waktu kemudian… 

Ke-2 tangannya mengunci sangat erat di badan saya serta badannya saya rasakan berguncang-guncang teratur sekian kali. Saya lantas hentikan pompaan, berikan peluang dia nikmati orgasmenya. Guncangan lantas melemah bersamaan melemahnya kuncian tangannya. Lantas tangannya rebah ke samping. Yuni terkapar. 

“Terima kasih Kang… terima kasih…” tuturnya sembari menciumi muka saya. 

“Gimana Yun…” 

“Enak banget…” 

Badan saya masih tetap telungkup menindih badannya, batang saya yang masih tetap tegang masih tetap ‘tersimpan’ didalam badannya. Saya masih tetap tidak bergerak meskipun Saya belum juga menjangkau puncak. Berniat untuk berikan saat pada Yuni untuk merampungkan puncak jalinan sex, orgasme. Karna Saya ketahui berdasar pada pengalaman, wanita tidak ingin ‘diganggu’ apabila tengah dalam masa puncak serta sekian waktu sesudahnya. Syaraf-syaraf pada alat kelaminnya jadi sangat peka saat masa orgasme. 

Tapi kemelut penis saya mulai mengendur karna masa pause begini. Saya mesti mulai memompa sekali lagi untuk tingkatkan kemelut batang saya. Lantas Saya mulai pergerakan dengan memundurkan penis saya sedikit serta menusuk sekali lagi. 


“Aaaahhh… Kang…” erangnya. 

Saya selalu saja memompa. 

Mulutnya mulai berkicau. 

Semakin cepat. 

Pergerakannya semakin hilang ingatan. 

Saya melambung. 

Melayang-layang. 

Sebagian detik kemudian… 

Saya hingga. 

Saya tumpahkan semua kedalam badannya. 

Ya. Saya ejakulasi di dalam badannya. Tidak terpikirkan sekali lagi untuk mencabutnya. Karna ke-2 kaki Yuni keburu menjepit erat pinggul saya, serta lantas badannya berguncang teratur seperti barusan. 

Sebagian waktu berlalu, baru Saya mengerti juga akan karena penumpahan kedalam liangnya. 

“Yun… Saya keluar didalam…” 

“Engga apa-apa Kang… janganlah khawatir” 

“Maksudmu? ” 

“Aku masih tetap menaruh spiral di dalam…” 

Saya lega meskipun di kepala ini menumpuk beberapa pertanyaan seperti kenapa dia nekat begini.

No comments:

Post a Comment

About

authorHello, saya wilvia novy disini saya akan membagi pengalaman sex saya dan pengalam sex rekan saya. Penasaran dengan ceritanya baca terus ya di cerita dewasaenak.blogspot.com
Learn More →



Tags